Sabtu, 25 Februari 2023

Khilafah pada Masa Khulafaurrasyidin

Konsep pertama mengenai kepemimpinan Islam adalah khilafah. Secara harfiah, khilafah berarti penggantian atau suksesi. Maksudnya adalah penggantian kepemimpinan selepas Nabi Muhammad Saw., bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi namun sebagai pemimpin umat. Orang yang memegang jabatan khilafah disebut dengan khalifah. Namun demikian, kata khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.[1] Masalah Khilafah, terdapat tiga teori utama yaitu pendapat yang  menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan syari'ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh sunni antara lain Teolog  Abu Hasan Al-Asy'ari berpendapat bahwa khilafah ini wajib karena wahyu dan ijma' para sahabat. Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh Al- Mawardi mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma' atau consensus. Al- Ghazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma'. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu'tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.[2]

 

Al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah mengatakan bahwa khilafah dapat disinonimkan dengan al-Imamah, yaitu sistem perwakilan atau pergantian atas kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. Tiga pengertian diatas memberikan dampak dua makna yang lebih spesifik. Pertama, khalifah atau imam adalah wakil atau pengganti Nabi SAW yang berarti pula ia berhak mewarisi otoritas dan keistimewaan yang pernah didapatkan oleh nabi di mata umat islam. Kedua, khalifah atau imam secara konseptual mewarisi otoritas agama sekaligus otoritas pemerintahan yang juga pernah dimiliki oleh Nabi SAW. Konsep khilafah sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan konsep kenegaraan Islam ideal yang hanya  terbukti pada masa al khulafa' al Rasyidin. 


Al khulafa' al Rasyidin oleh kalangan umat Islam dinilai mewakili praktek dan pelaksanaan konsep khilafah yang ideal, karena selain mereka mendapat kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, mereka juga memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsinya sebagai negarawan sekaligus agamawan. Sekalipun tidak sama dengan kualitas yang ada pada diri Nabi sendiri, apa yang dilakukan al khulafa al rasyidin paling tidak sudah memenuhi kriteria bagi terlaksananya khilafah yang ideal.[3]

 

Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari Allah. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas  kerosulan  tidak dapat digantikan oleh Khulafaur  Rasyidin karena  Rasulullah  adalah Nabi dan Rosul yang terakhir. Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.


 

Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan  yang  damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin bertugas mengatur hal-hal  yang  berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka khalifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga setiap kebijakan yang  diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin. Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah ini, yaitu: pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi. Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya.[4]

 

.Ketika Nabi SAW wafat, nabi tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam  setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri  untuk  menentukannya.  Karena  itulah, tidak lama setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin umat islam. Musyawarah terjadi cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat islam. Namun dengan semangat  ukhuwah  islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi SAW. Rupanya semangat keagamaan Abu Bakar yang tinggi mendapat penghargaan yang tinggi dari umat islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya. Dalam kepemimpinannya, Abu Bakar melaksanakan kekuasaannya sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan Khalifah. Meskipun demikian, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.


Pada masa Umar bin Khattab, kondisi politik  dalam  keadaan  stabil, usaha perluasan wilayah islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah islam pada masa Umar bin Khattab meliputi Semenanjung Arabiah, Palestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir.Kemudian pada masa pergantian khalifah selanjutnya, melalui persaingan ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Ustman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa' arRasyidin yaitu 12 tahun. Prestasi yang terpenting bagi Khalifah Ustman adalah menulis kembali al-Quran yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti Umar. Terdapat beberapa manfaat dari dikodifikasikannya al-Qur`an pada masa Ustman diantaranya:

1.  Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang  seragam ejaan tulisannya.

2.   Menyatukan bacaan, kendatipun masih ada perbedaannya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Ustmani.

3.  Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang ini.


Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan yang tinggi. Yang terpenting  diantaranya  adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan roda pemerintahan pada saat itu, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar sebagai Khalifah. Situasi  politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan timbulnya peristiwa pembunuhan Utsman yang mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Thalhah bin 'Ubaidillah memaksa beliau sehingga akhirnya Ali menerima baiat mereka. Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di baiat  secara massal. Karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda- beda.


Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai guncangan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Persoalan pertama yang dihadapi Ali adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah ditumpahkan secara zalim. Bersamaan dengan itu, kebijakan- kebijakan Ali  juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus. Muawiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Peristiwa yang terkenal dalam masa Ali adalah terjadinya perang antara kubu Ali dan kubu Muawiyah. Perang tersebut terjadi di daerah bernama Siffin, sehingga perang ini disebut sebagai perang Siffin.[5]




[1] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57

[2] Sutisna, Pemilihan Kepala Negara Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia,(Yogyakarta:Deepublish,2014).Hlm.7

[3] Ahmad Muthohar, Evolusi Khilafah ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah),IAIN Samarinda.

[4] Machfud Syaefuddin, Perdaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013. hlm 29.

[5] Ely Zainudin ,Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin, Jurnal Intelegensia Vol. 03 No. 01 Januari-Juni 2015

 

Minggu, 19 Februari 2023

“EKSEKUSI GROSSE AKTA HIPOTIK”



A.  Pengertian Eksekusi.

Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan Pengadilan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri sebagai pelaksanaan atas suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.[1] Adapun beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya sebagai berikut :

M Yahya Harahap, eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.

Prof. R. Subekti, eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, ditaati secara suka rela oleh pihak yang bersengketa. Jadi dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah, mau tidak mau harus menaati putusan itu secara suka rela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer(angkatan bersenjata).

Djazulli Bachar, eksekusi adalah melaksanakan putusan pengadilan yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan cara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.

R. Supomo, eksekusi adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila hak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang ditentukan.[2]

Pada asasnya, suatu putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetaplah yang dapat dilaksanakan, kecuali apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 180 HIR (Pasal 191 RBg). Namun demikian tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Pasal 195 HIR (206 RBg) menyatakan bahwa putusan dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Pelaksanaan putusan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk dalam delapan hari memenuhi/melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Jika pihak yang kalah tersebut tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka pelaksanaan putusan tersebut dapat dilakukan secara paksa (eksekusi) dengan bantuan aparat keamanan. Adapun eksekusi atau pelaksanaan putusan ini dibagi menjadi beberapa jenis antara lain :

1.    Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam pasal 196 HIR(pasal 208 Rbg).

2.    Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR(pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan, Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.

3.    Eksekusi riil  merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil ini lah yang berhak menerima prestasi. Prestasi yang terhutang seperti yang telah kita ketahui misalnya : pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Dengan demikian maka eksekusi mengenai ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil.[3]

     Pasal 1033 Rv mengatur tentang eksekusi riil, yaitu eksekusi untuk mengosongkan barang tidak bergerak, yang berbunyi :

“Jika putusan hakim yang memerintahkan untuk pengosongan suatu barang tak bergerak tidak dilaksanakan/ tidak dipenuhi oleh pihak yang dihukum untuk itu maka Ketua Pengadilan akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya dengan bantuan aparat negara agar barang tak bergerak itu dikosongkan”.[4]

 

B.  Grosse Akta Hipotik.

Sebelum membahas mengenai grosse akta, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian akta. Istilah akta dalam bahasa belanda disebut “acta” dan dalam bahasa inggris disebut “act” atau “deed”. Menurut R Subekti dan Gitrosudibio dalam bukunya “ Kamus hukum” bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.[5]

A. Pitlo mengatakan akta itu adalah surat-surat yang ditanda tangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini kita jumpai misalnya dalam pasal 108 KUH Perdata yang berbunyi :

“Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahkan tangankannya, atau memperolehnya”.

Menurut R. Subekti, dalam bukunya “Pokok Pokok Hukum Perdata”, kata akta dalam Pasal 108 KUH Perdata  tersebut di atas bukanlah berarti surat, melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata”acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan. Jadi dapat disampaikan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah :

1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum(rechtsandeling) itulah pengertian yang luas.

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.

Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian akta ini dalam peraturan perundang-undangan, maka yang dimaksudkan dengan akta dalam pembahasan ini adalah akta dalam pengertian surat yang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti. Sedangkan Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan(pasal 1162 KUH Per). Menurut Prof. Subekti SH. Dengan mengacu pasal 1162 KUHPer, Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu. Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan mengacu pada pasal 1162 KUHPer, Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perutangan (verbintenis) .[6]

Berikutnya pengertian dari grosse akta, jika ditinjau dari etimologi “grosse akta” itu berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua suku kata, yakni “grosse” dan “akta”. Menurut kamus hukum karangan H. Van Der Tas, arti dari grosse sebagai berkut “Oorspronkelijk : Een net of schrift in grosekutipan, dengan memuat di atasnya kata-kata : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan sebagai grosse pertama”, dengan menyebut nama dari orang, yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.[7]

Grosse akta yang menurut pasal 1 angka 11 UU No. 02 Tahun 2014 dirumuskan bahwa :

“Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta (DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA), yang mempunyai kekuatan eksekutorial”.[8].

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Grosse akta hipotik adalah suatu grosse (salinan) akta yang menunjukkan bahwa objeknya adalah benda yang tidak bergerak yang dibuat oleh pejabat yang berwenang membuat akta(Notaris), dimana digunakan untuk sebuah pengakuan utang dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Grosse akta pada prinsipnya dibuat dengan tujuan untuk memudahkan kreditur dalam menagih piutangnya. Namun dalam praktiknya tujuan ini tidak semudah itu, kreditur tidak dapat serta merta melakukan eksekusi terhadap barang jaminan yang dijaminkan kepadanya. Di konteks inilah biasanya untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut, kreditur harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk kemudian dapat dieksekusi.[9] Pada umumnya ada 2 bentuk grosse akta : Pertama, grosse akta pengakuan hutang. Kedua, grosse akta hipotik. Dalam makalah ini akan dibahas terbatas mengenai grosse akta hipotik.

Grosse akta hipotik mempunyai kekuatan yang eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam  pasal 258 Rbg.  Grosse akta hipotik yang mempunyai fungsi sama dengan putusan(Grosse Putusan) pengadilan yakni mempunyai kekuatan/alas eksekutorial yang dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan negeri secara langsung tanpa proses. Jadi mengenai grosse akta hipotik sebenarnya tidak ada masalah, apabila akta hipotik itu sudah didaftarkan pada kantor pertanahan.  Dengan demikian akta hipotik mempunyai hak preferensi dan kedudukan khusus tersebut baru ada apabila hipotik telah dipasang(sertifikat hipotik) yang dilakukan oleh kreditur yang telah menerima kuasa pihak debitur.[10]

C.  Tata Cara Eksekusi Grosse Akta Hipotik dalam Praktek.

Didalam praktek, apabila pemegang hipotik adalah bank swasta atau perseorangan, maka agar supaya hak hipotik itu dapat dilaksanakan oleh kantor lelang negara, maka terlebih dahulu akan dimintakan suatu penetapan eksekusi dari ketua pengadilan negeri.

            Dibawah ini akan kita tinjau tata cara yang biasa berlaku di Indonesia di pengadilan negeri bagi permohonan penetapan eksekusi Grosse Akta Hipotik, antara lain sebagai berikut :

1.         Pemohon, yang dalam hal ini adalah bank swasta atau perseorangan akan datang ke pengadilan negeri untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi grosse akta hipotik dengan membawa sertifikat hipotik yang merupakan syarat mutlak untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi grosse akta hipotik, biasanya ditangani sendiri oleh ketua pengadilan negeri .

2.         Setelah ketua pengadilan negeri menerima permohonan tersebut, kemudian mengambil sikap sebagai berikut :

a. Ketua pengadilan memanggil debitur untuk menghadap dengan melakukan teguran terhadap debitur agar melunasi hutangnya.

b. Melakukan perdamaian antara kreditur dengan debitur terlebih dahulu.

Jadi ketua pengadilan negeri tidak langsung mengeluarkan penetapan eksekusi, akan tetapi mengadakan teguran terlebih dahulu terhadap debitur agar debitur membayar hutang-hutangnya  dengan mengadakan perdamaian antara kreditur dengan debitur. Teguran yang dilakukan oleh ketua pengadilan sebanyak-banyaknya dilakukan 3 x yang ditujukan kepada debitur dengan tenggang waktu seminggu sekali.

3.        Biasanya hakim masih memberikan waktu untuk yang ketiga kalinya kepada debitur dengan tenggang waktu 8 hari setelah teguran ini dikeluarkan.

4.        Apabila jangka waktu yang telah ditetapkan itu sudah habis dan debitur belum membayar hutang-hutangnya, maka ketua pengadilan negeri akan mengeluarkan surat perintah untuk pelaksanaan sita eksekusi terhadap barang jaminan. Perintah untuk melaksanakan sita eksekusi ditujukan kepada panitera pengadilan negeri yang apabila dalam hal ini berhalangan, maka diganti oleh jurusita yang kemudian disampaikan kepada debitur.

5.    Tujuan surat sita jaminan yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri adalah untuk melindungi barang-barang yang menjadi jaminan agar tidak dapat di perjual belikan atau digelapkan dengan jalan dipindah tangan kan kepada orang lain. Baik mengenai barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak sekalipun  barang-barang ini berada dalam tangan pihak ketiga.  Jurusita dalam hal ini melakukan segala tindakan  selalu dibantu oleh 2 orang saksi yang sudah dewasa dan berakal sehat dengan diketahui oleh kepala desa atau lurah setempat.

6.    Setelah jurusita menguasai seluruh barang-barang debitur maka selanjutnya jurusita harus membuat berita acara yang isinya harus diberitahukan kepada debitur.

7.    Jika jangka waktu telah lewat dan ternyata debitur masih tetap belum dapat melunasi hutang-hutangnya maka ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan eksekusi terhadap barang jaminan yang disita eksekusi.

8.    Setelah surat penetapan eksekusi diberikan kepada debitur, maka untuk selanjutnya juru sita akan melakukan hal-hal sebagai berikut :

a.    Menanyakan kepada Kantor Agraria Daerah Tingkat II setempat dengan meminta surat keterangan pendaftaran tanah.

b.    Menghubungi Kepala Kantor Lelang Negara untuk mengadakan lelang dengan menyerahkan sertifikat tanah, sertifikat hipotik dan surat keterangan pendaftaran tanah dari kantor agraria setempat.

c.    Mengadakan pengumuman lelang. Pengumuman lelang ini diumumkan di Koran-koran yang cukup terkenal di kota dimana tempat barang jaminan akan dilelang itu, serta menempelkan pengumuman di pengadilan negeri serta di kantor lelang negara. Pengumuman ini dilakukan 14 hari sebelum pelelangan.

9.         Pelaksanaan lelang dilakukan dimuka juru lelang di Kantor Lelang Daerah Tingkat I dan di Daerah Tingkat II.[11]

Mengingat perjanjian hipotik bersifat accessoir, maka pemegang hipotik harus dapat mengajukan kepada pengadilan besarnya hutang yang dijamin oleh hipotik tersebut. Apabila hutangnya debitur ternyata lebih kecil dari nilai hipotiknya, maka tidak ada masalah dan grosse akta itu dapat segera di eksekusi. Akan tetapi apabila besarnya hutang debitur ternyata lebih kecil dari pada nilai hipotiknya, maka ketua pengadilan negeri harus menentukan lebih dahulu besarnya hutang dalam penetapannya yang kemudian akan dieksekusi. Bahkan tanpa melalui pengadilan menurut pasal 1178 B.W seorang pemegang hipotik pertama dapat segera melelang jaminan hipotiknya dengan perantara Kantor Lelang apabila hal itu secara tegas diperjanjikan dalam akta hipotik itu (met beding van eigenmachtig verkoop). Disini pemegang hipotik pertama/kreditur bertindak sebagai kuasa penjual/debitur/pemberi hipotik sebagai kuasa penjual.[12]

D. Kesimpulan

Eksekusi adalah melaksanakan putusan pengadilan yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan cara paksa yang berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi. Dalam hal ini dilakukan oleh Jurusita, Panitera Pengadilan bahkan dapat pula dengan alat kelengkapan negara yang lain

-Grosse akta hipotik adalah suatu grosse (salinan) akta yang menunjukkan bahwa objeknya adalah benda yang tidak bergerak yang dibuat oleh pejabat yang berwenang membuat akta(Notaris), dimana digunakan untuk sebuah pengakuan utang dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Grosse akta hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan, walaupun dalam prakteknya pemegang hipotik seperti halnya bank swasta maupun perseorangan, harus terlebih dahulu meminta penetapan eksekusi terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri agar hak hipotiknya dapat dilelang oleh Kantor Lelang. 



[1] Dadan Muttaqien, Dasar Hukum Acara Perdata,Yogyakarta : Insania Cita Press,2006.Hlm 77

[2] Zaenal Asikin,Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Jakarta :Kencana,2015.Hlm.144

[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta : Liberty ,2006.Hlm.248-249.

[4] Ahmadi Meru, Hukum Perdata Materiil dan Formil,Kemilran partnership:USAID: The Asia Foundation.Hlm.464

[5] R Subekti dan R Tjipto Soedibio, Kamus Hukum,Jakarta : PT Pradaya Paramita,1980.Hllm 9

[6]P.N.H. Simanjuntak,Hukum Perdata Indonesia.Jakarta :Kencana,2015.Hlm.199

[7] G.H.S Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris,Jakarta : PT Erlangga,1980.Hlm.228

[8] Suffandi Kandou.Tinjauan Yuridis Jaminan Hipotio Kapal Laut dan Akibat Hukumnya,Lex Crimen Vol. 5  No. 04 Aprl-Juni 2016

[9] Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 3.

[10] Firzhal Arzhi Jiwanatara dan Ikang Satrya Medyantara,Kekuatan Eksekutorial Grosse Akta Pengakuan Utang Dalam Praktek, Mataram :Gue Pedia,2020.Hlm.57

[11] Iluna Tirza Palar.1986. Pelaksanaan(Eksekusi) Grosse  Akta Hipotik menurut Ketentuan Hukum dan Prakteknya. Skripsi, Tidak  Diterbitkan. Fakultas Hukum Universitas Airlangga.Hlm 32-35.

[12] Soetarmo Soedja, Grosse Akta Pengakuan Hutang dan Grosse Akta Hipotik, Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Hlm 542.

Konsultasi Hukum

Konsultasi adalah sebuah dialog di dalamnya ada aktivitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkons...