Konsep pertama mengenai
kepemimpinan Islam adalah khilafah. Secara harfiah, khilafah
berarti penggantian atau suksesi. Maksudnya
adalah penggantian kepemimpinan selepas Nabi Muhammad Saw., bukan dalam kedudukannya sebagai
Nabi namun sebagai
pemimpin umat. Orang yang memegang jabatan khilafah
disebut dengan khalifah. Namun demikian,
kata khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.[1]
Masalah Khilafah, terdapat
tiga teori utama yaitu pendapat
yang menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini wajib
hukumnya berdasarkan syari'ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh sunni antara lain Teolog Abu Hasan
Al-Asy'ari berpendapat bahwa khilafah ini wajib karena wahyu dan ijma' para sahabat.
Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh Al- Mawardi
mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya
fardhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma' atau consensus. Al- Ghazali
mengatakan bahwa khilafah
ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma'. Teori terakhir adalah
pendapat kaum Mu'tazilah yang mengatakan
bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.[2]
Al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah mengatakan bahwa khilafah dapat disinonimkan dengan al-Imamah, yaitu sistem perwakilan atau pergantian atas kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. Tiga pengertian diatas memberikan dampak dua makna yang lebih spesifik. Pertama, khalifah atau imam adalah wakil atau pengganti Nabi SAW yang berarti pula ia berhak mewarisi otoritas dan keistimewaan yang pernah didapatkan oleh nabi di mata umat islam. Kedua, khalifah atau imam secara konseptual mewarisi otoritas agama sekaligus otoritas pemerintahan yang juga pernah dimiliki oleh Nabi SAW. Konsep khilafah sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan konsep kenegaraan Islam ideal yang hanya terbukti pada masa al khulafa' al Rasyidin.
Al khulafa' al Rasyidin oleh kalangan umat Islam dinilai mewakili praktek dan
pelaksanaan konsep khilafah yang
ideal, karena selain mereka mendapat kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, mereka juga memiliki kapasitas
untuk menjalankan fungsinya
sebagai negarawan sekaligus
agamawan. Sekalipun tidak
sama dengan kualitas
yang ada pada diri Nabi sendiri, apa yang dilakukan al khulafa al rasyidin paling
tidak sudah memenuhi kriteria bagi terlaksananya khilafah yang ideal.[3]
Adapun yang dimaksud
dengan Khulafaur Rasyidin
adalah para pemimpin
pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan
umat manusia yang adil,
bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk
dari Allah. Tugas Khulafaur Rasyidin
adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika
tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin
bertugas menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah
kenegaraan yaitu sebagai
kepala negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas
kerosulan tidak dapat digantikan oleh Khulafaur Rasyidin karena Rasulullah
adalah Nabi dan Rosul yang
terakhir. Setelah Beliau tidak ada
lagi Nabi dan Rosul lagi.
Tugas Khulafaur Rasyidin
sebagai kepala Negara adalah mengatur
kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan
yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan
sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin
bertugas mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka khalifah
yang berhak mengambil
keputusan. Meskipun demikian
Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan tugasnya
selalu mengutamakan musyawarah bersama,
sehingga setiap kebijakan
yang diambil tidak bertentangan dengan kaum
muslimin. Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin
umat Islam dari kalangan sahabat
pasca Nabi wafat. Mereka merupakan
pemimpin yang dipilih
langsung oleh para sahabat
melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah
setia) pada calon yang terpilih
tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah
ini, yaitu: pertama, secara musyawarah oleh para sahabat
Nabi. Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah
sebelumnya.[4]
.Ketika Nabi SAW wafat, nabi tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin umat islam. Musyawarah terjadi cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat islam. Namun dengan semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi SAW. Rupanya semangat keagamaan Abu Bakar yang tinggi mendapat penghargaan yang tinggi dari umat islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya. Dalam kepemimpinannya, Abu Bakar melaksanakan kekuasaannya sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan Khalifah. Meskipun demikian, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Pada masa Umar bin Khattab, kondisi politik dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah islam pada masa Umar bin Khattab meliputi Semenanjung Arabiah, Palestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir.Kemudian pada masa pergantian khalifah selanjutnya, melalui persaingan ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Ustman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa' arRasyidin yaitu 12 tahun. Prestasi yang terpenting bagi Khalifah Ustman adalah menulis kembali al-Quran yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti Umar. Terdapat beberapa manfaat dari dikodifikasikannya al-Qur`an pada masa Ustman diantaranya:
1. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
2. Menyatukan bacaan, kendatipun masih
ada perbedaannya, namun
harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Ustmani.
3. Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut
yang kelihatan pada mushaf sekarang
ini.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan yang tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan roda pemerintahan pada saat itu, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar sebagai Khalifah. Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan timbulnya peristiwa pembunuhan Utsman yang mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Thalhah bin 'Ubaidillah memaksa beliau sehingga akhirnya Ali menerima baiat mereka. Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di baiat secara massal. Karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda- beda.
Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai guncangan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Persoalan pertama yang dihadapi Ali adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah ditumpahkan secara zalim. Bersamaan dengan itu, kebijakan- kebijakan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus. Muawiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Peristiwa yang terkenal dalam masa Ali adalah terjadinya perang antara kubu Ali dan kubu Muawiyah. Perang tersebut terjadi di daerah bernama Siffin, sehingga perang ini disebut sebagai perang Siffin.[5]
[1] Ahmad Azhar Basyir,
Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi,
(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57
[2] Sutisna, Pemilihan Kepala Negara Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia,(Yogyakarta:Deepublish,2014).Hlm.7
[3] Ahmad Muthohar, Evolusi Khilafah
( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai
Dinasti ‘Abbasiyah),IAIN Samarinda.
[4] Machfud Syaefuddin, Perdaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013. hlm 29.
[5] Ely Zainudin ,Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin, Jurnal Intelegensia – Vol. 03 No. 01 Januari-Juni 2015