A. Pengertian Eksekusi.
Eksekusi adalah pelaksanaan secara
resmi suatu putusan Pengadilan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri sebagai
pelaksanaan atas suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum
ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap.[1]
Adapun beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya sebagai
berikut :
M Yahya Harahap,
eksekusi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang
kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses
pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.
Prof. R. Subekti, eksekusi
adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, ditaati
secara suka rela oleh pihak yang bersengketa. Jadi dalam makna perkataan
eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah, mau tidak mau harus menaati
putusan itu secara suka rela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya
dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi
bahkan kalau perlu militer(angkatan bersenjata).
Djazulli Bachar, eksekusi
adalah melaksanakan putusan pengadilan yang tujuannya tidak lain adalah untuk
mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan cara
paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada
yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan
eksekusi.
R. Supomo, eksekusi
adalah hukum yang mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat
negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim,
apabila hak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyi putusan dalam waktu yang
ditentukan.[2]
Pada asasnya, suatu putusan hakim
yang sudah berkekuatan hukum tetaplah yang dapat dilaksanakan, kecuali apabila
suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
sebagaimana diatur dalam Pasal 180 HIR (Pasal 191 RBg). Namun demikian tidak
semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan,
karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir,
yaitu yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan. Pasal 195 HIR (206 RBg) menyatakan bahwa putusan dilaksanakan atas
perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
tersebut. Pelaksanaan putusan dimulai dengan menegur pihak yang kalah untuk
dalam delapan hari memenuhi/melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Jika
pihak yang kalah tersebut tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka
pelaksanaan putusan tersebut dapat dilakukan secara paksa (eksekusi) dengan
bantuan aparat keamanan. Adapun eksekusi atau pelaksanaan putusan ini dibagi
menjadi beberapa jenis antara lain :
1.
Eksekusi
putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang.
Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur
dalam pasal 196 HIR(pasal 208 Rbg).
2.
Eksekusi
putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur
dalam pasal 225 HIR(pasal 259 Rbg). Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi
prestasi yang berupa perbuatan, Akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat
meminta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan
uang.
3.
Eksekusi
riil merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi
riil itu adalah pelaksanaan putusan menuju kepada hasil yang sama seperti
apabila dilaksanakan secara suka rela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan
eksekusi riil ini lah yang berhak menerima prestasi. Prestasi yang terhutang
seperti yang telah kita ketahui misalnya : pembayaran sejumlah uang, melakukan
suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda. Dengan demikian
maka eksekusi mengenai ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil.[3]
Pasal 1033 Rv mengatur
tentang eksekusi riil, yaitu eksekusi untuk mengosongkan barang tidak bergerak,
yang berbunyi :
“Jika
putusan hakim yang memerintahkan untuk pengosongan suatu barang tak bergerak
tidak dilaksanakan/ tidak dipenuhi oleh pihak yang dihukum untuk itu maka Ketua
Pengadilan akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya
dengan bantuan aparat negara agar barang tak bergerak itu dikosongkan”.[4]
B.
Grosse Akta
Hipotik.
Sebelum membahas mengenai grosse
akta, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian akta. Istilah akta dalam
bahasa belanda disebut “acta” dan dalam bahasa inggris disebut “act” atau
“deed”. Menurut R Subekti dan Gitrosudibio dalam bukunya “ Kamus hukum” bahwa
kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa
latin dan berarti perbuatan-perbuatan.[5]
A. Pitlo mengatakan akta itu adalah
surat-surat yang ditanda tangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan
dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di samping
pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat
bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta
yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini kita
jumpai misalnya dalam pasal 108 KUH Perdata yang berbunyi :
“Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan atau
telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan
barang sesuatu, atau memindahkan tangankannya, atau memperolehnya”.
Menurut R. Subekti, dalam bukunya “Pokok Pokok Hukum Perdata”, kata
akta dalam Pasal 108 KUH Perdata
tersebut di atas bukanlah berarti surat, melainkan harus diartikan
dengan perbuatan hukum, berasal dari kata”acta” yang dalam bahasa Perancis berarti
perbuatan. Jadi dapat disampaikan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah :
1. Perbuatan handeling/perbuatan
hukum(rechtsandeling) itulah pengertian yang luas.
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk
dipakai sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang
ditujukan kepada pembuktian sesuatu.
Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian akta ini dalam
peraturan perundang-undangan, maka yang dimaksudkan dengan akta dalam
pembahasan ini adalah akta dalam pengertian surat yang sengaja dibuat dan diperuntukkan
sebagai alat bukti. Sedangkan Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk
mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan(pasal 1162
KUH Per). Menurut Prof. Subekti SH. Dengan mengacu pasal 1162 KUHPer,
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak bertujuan
untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan penjualan benda itu.
Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan SH dengan mengacu pada
pasal 1162 KUHPer, Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak
untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perutangan
(verbintenis) .[6]
Berikutnya pengertian dari grosse akta, jika ditinjau dari
etimologi “grosse akta” itu berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua
suku kata, yakni “grosse” dan “akta”. Menurut kamus hukum karangan H. Van Der
Tas, arti dari grosse sebagai berkut “Oorspronkelijk : Een net of schrift in
grosekutipan, dengan memuat di atasnya kata-kata : ”Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan
sebagai grosse pertama”, dengan menyebut nama dari orang, yang atas
permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.[7]
Grosse akta yang menurut pasal 1 angka 11 UU No. 02 Tahun 2014
dirumuskan bahwa :
“Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang
dengan kepala akta (DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA), yang
mempunyai kekuatan eksekutorial”.[8].
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan Grosse akta hipotik adalah suatu grosse
(salinan) akta yang menunjukkan bahwa objeknya adalah benda yang tidak bergerak
yang dibuat oleh pejabat yang berwenang membuat akta(Notaris), dimana digunakan
untuk sebuah pengakuan utang dengan kepala akta “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse akta pada prinsipnya dibuat
dengan tujuan untuk memudahkan kreditur dalam menagih piutangnya. Namun dalam
praktiknya tujuan ini tidak semudah itu, kreditur tidak dapat serta merta
melakukan eksekusi terhadap barang jaminan yang dijaminkan kepadanya. Di
konteks inilah biasanya untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut, kreditur
harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk kemudian dapat dieksekusi.[9]
Pada umumnya ada 2 bentuk grosse akta : Pertama, grosse akta
pengakuan hutang. Kedua, grosse akta hipotik. Dalam makalah ini
akan dibahas terbatas mengenai grosse akta hipotik.
Grosse akta hipotik mempunyai
kekuatan yang eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 258 Rbg. Grosse akta hipotik yang mempunyai fungsi
sama dengan putusan(Grosse Putusan) pengadilan yakni mempunyai kekuatan/alas
eksekutorial yang dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan negeri secara
langsung tanpa proses. Jadi mengenai grosse akta hipotik sebenarnya tidak ada
masalah, apabila akta hipotik itu sudah didaftarkan pada kantor
pertanahan. Dengan demikian akta hipotik
mempunyai hak preferensi dan kedudukan khusus tersebut baru ada apabila hipotik
telah dipasang(sertifikat hipotik) yang dilakukan oleh kreditur yang telah
menerima kuasa pihak debitur.[10]
C.
Tata Cara Eksekusi
Grosse Akta Hipotik dalam Praktek.
Didalam praktek, apabila pemegang
hipotik adalah bank swasta atau perseorangan, maka agar supaya hak hipotik itu
dapat dilaksanakan oleh kantor lelang negara, maka terlebih dahulu akan
dimintakan suatu penetapan eksekusi dari ketua pengadilan negeri.
Dibawah ini akan
kita tinjau tata cara yang biasa berlaku di Indonesia di pengadilan negeri bagi
permohonan penetapan eksekusi Grosse Akta Hipotik, antara lain sebagai berikut
:
1.
Pemohon, yang
dalam hal ini adalah bank swasta atau perseorangan akan datang ke pengadilan
negeri untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi grosse akta hipotik
dengan membawa sertifikat hipotik yang merupakan syarat mutlak untuk mengajukan
permohonan penetapan eksekusi grosse akta hipotik, biasanya ditangani sendiri
oleh ketua pengadilan negeri .
2.
Setelah ketua
pengadilan negeri menerima permohonan tersebut, kemudian mengambil sikap
sebagai berikut :
a. Ketua pengadilan memanggil
debitur untuk menghadap dengan melakukan teguran terhadap debitur agar melunasi
hutangnya.
b. Melakukan perdamaian antara
kreditur dengan debitur terlebih dahulu.
Jadi ketua pengadilan negeri tidak
langsung mengeluarkan penetapan eksekusi, akan tetapi mengadakan teguran
terlebih dahulu terhadap debitur agar debitur membayar hutang-hutangnya dengan mengadakan perdamaian antara kreditur
dengan debitur. Teguran yang dilakukan oleh ketua pengadilan sebanyak-banyaknya
dilakukan 3 x yang ditujukan kepada debitur dengan tenggang waktu seminggu
sekali.
3.
Biasanya hakim
masih memberikan waktu untuk yang ketiga kalinya kepada debitur dengan tenggang
waktu 8 hari setelah teguran ini dikeluarkan.
4.
Apabila jangka
waktu yang telah ditetapkan itu sudah habis dan debitur belum membayar
hutang-hutangnya, maka ketua pengadilan negeri akan mengeluarkan surat perintah
untuk pelaksanaan sita eksekusi terhadap barang jaminan. Perintah untuk
melaksanakan sita eksekusi ditujukan kepada panitera pengadilan negeri yang
apabila dalam hal ini berhalangan, maka diganti oleh jurusita yang kemudian
disampaikan kepada debitur.
5.
Tujuan surat
sita jaminan yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan negeri adalah untuk
melindungi barang-barang yang menjadi jaminan agar tidak dapat di perjual
belikan atau digelapkan dengan jalan dipindah tangan kan kepada orang lain.
Baik mengenai barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak
sekalipun barang-barang ini berada dalam
tangan pihak ketiga. Jurusita dalam hal
ini melakukan segala tindakan selalu
dibantu oleh 2 orang saksi yang sudah dewasa dan berakal sehat dengan diketahui
oleh kepala desa atau lurah setempat.
6.
Setelah
jurusita menguasai seluruh barang-barang debitur maka selanjutnya jurusita
harus membuat berita acara yang isinya harus diberitahukan kepada debitur.
7.
Jika jangka
waktu telah lewat dan ternyata debitur masih tetap belum dapat melunasi
hutang-hutangnya maka ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan eksekusi
terhadap barang jaminan yang disita eksekusi.
8.
Setelah surat
penetapan eksekusi diberikan kepada debitur, maka untuk selanjutnya juru sita
akan melakukan hal-hal sebagai berikut :
a.
Menanyakan
kepada Kantor Agraria Daerah Tingkat II setempat dengan meminta surat
keterangan pendaftaran tanah.
b.
Menghubungi
Kepala Kantor Lelang Negara untuk mengadakan lelang dengan menyerahkan
sertifikat tanah, sertifikat hipotik dan surat keterangan pendaftaran tanah
dari kantor agraria setempat.
c.
Mengadakan
pengumuman lelang. Pengumuman lelang ini diumumkan di Koran-koran yang cukup
terkenal di kota dimana tempat barang jaminan akan dilelang itu, serta
menempelkan pengumuman di pengadilan negeri serta di kantor lelang negara.
Pengumuman ini dilakukan 14 hari sebelum pelelangan.
9.
Pelaksanaan
lelang dilakukan dimuka juru lelang di Kantor Lelang Daerah Tingkat I dan di
Daerah Tingkat II.[11]
Mengingat perjanjian hipotik bersifat accessoir, maka pemegang hipotik harus dapat mengajukan kepada pengadilan besarnya hutang yang dijamin oleh hipotik tersebut. Apabila hutangnya debitur ternyata lebih kecil dari nilai hipotiknya, maka tidak ada masalah dan grosse akta itu dapat segera di eksekusi. Akan tetapi apabila besarnya hutang debitur ternyata lebih kecil dari pada nilai hipotiknya, maka ketua pengadilan negeri harus menentukan lebih dahulu besarnya hutang dalam penetapannya yang kemudian akan dieksekusi. Bahkan tanpa melalui pengadilan menurut pasal 1178 B.W seorang pemegang hipotik pertama dapat segera melelang jaminan hipotiknya dengan perantara Kantor Lelang apabila hal itu secara tegas diperjanjikan dalam akta hipotik itu (met beding van eigenmachtig verkoop). Disini pemegang hipotik pertama/kreditur bertindak sebagai kuasa penjual/debitur/pemberi hipotik sebagai kuasa penjual.[12]
Eksekusi adalah melaksanakan putusan pengadilan yang tujuannya tidak lain adalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan cara paksa yang berupa tindakan-tindakan paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi. Dalam hal ini dilakukan oleh Jurusita, Panitera Pengadilan bahkan dapat pula dengan alat kelengkapan negara yang lain
-Grosse akta hipotik adalah suatu grosse (salinan) akta yang menunjukkan
bahwa objeknya adalah benda yang tidak bergerak yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang membuat akta(Notaris), dimana digunakan untuk sebuah pengakuan utang
dengan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Grosse akta hipotik mempunyai kekuatan eksekutorial yang mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan keputusan pengadilan, walaupun dalam prakteknya pemegang
hipotik seperti halnya bank swasta maupun perseorangan, harus terlebih dahulu
meminta penetapan eksekusi terlebih dahulu kepada Pengadilan Negeri agar hak
hipotiknya dapat dilelang oleh Kantor Lelang.
[1] Dadan Muttaqien, Dasar Hukum Acara
Perdata,Yogyakarta : Insania Cita Press,2006.Hlm 77
[2] Zaenal Asikin,Hukum Acara Perdata Di
Indonesia, Jakarta :Kencana,2015.Hlm.144
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta
: Liberty ,2006.Hlm.248-249.
[4] Ahmadi Meru, Hukum Perdata Materiil dan Formil,Kemilran
partnership:USAID: The Asia Foundation.Hlm.464
[5] R Subekti dan R Tjipto Soedibio, Kamus Hukum,Jakarta : PT
Pradaya Paramita,1980.Hllm 9
[6]P.N.H. Simanjuntak,Hukum Perdata Indonesia.Jakarta :Kencana,2015.Hlm.199
[7] G.H.S Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris,Jakarta : PT
Erlangga,1980.Hlm.228
[8] Suffandi Kandou.Tinjauan Yuridis Jaminan Hipotio Kapal Laut dan
Akibat Hukumnya,Lex Crimen Vol. 5
No. 04 Aprl-Juni 2016
[9] Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta
Dalam Pembuktian dan Eksekusi (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 3.
[10] Firzhal Arzhi Jiwanatara dan Ikang Satrya
Medyantara,Kekuatan Eksekutorial Grosse Akta Pengakuan Utang Dalam Praktek, Mataram
:Gue Pedia,2020.Hlm.57
[11] Iluna Tirza Palar.1986. Pelaksanaan(Eksekusi)
Grosse Akta Hipotik menurut Ketentuan
Hukum dan Prakteknya. Skripsi, Tidak
Diterbitkan. Fakultas Hukum Universitas Airlangga.Hlm 32-35.
[12] Soetarmo Soedja, Grosse Akta Pengakuan Hutang dan Grosse Akta
Hipotik, Hukum dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Hlm 542.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar