Kamis, 02 Maret 2023

Penerapan Hukum Islam di Pakistan


Satu hal yang unik dan mungkin sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya, bahwa negara Pakistan didirikan oleh beberapa tokoh-tokoh pendirinya, bukan (hanya) didasarkan pada persoalan kesamaan letak geografis atau bangsa sebagaimana yang banyak terjadi pada negara-negara lain.Pakistan, lebih cenderung didirikan atas dasar kesamaan agama mereka, yaitu Islam. Oleh karena itulah tidak heran jika kemudian negara yang mengambil bentuk republik ini disebut sebagai Negara Republik Islam Pakistan.[1]Ideologi Pakistan (Islam sebagai bangsa: Islam as nation) betul-betul teruji pada saat pendirian negara tersebut. Di Pakistan, Islam telah menjadi basis legitimasi, sumber identitas, kultural, dan faktor yang membedakan dari dunia asing.

Pakistan

Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa, yang merupakan Negara Muslim terbesar kedua di dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji Agama yang beragam pula.[2] Pakistan merupakan bagian dari India yang memperoleh kemerdekaannya pada tanggal  15  Agustus 1947 setelah melalui perjuangan yang panjang baik dengan penjajahan Inggris maupun dengan kelompok hindu sendiri. Dalam perjuangan ini berperan tokoh-tokoh diantaranya  Sayyid Ahmad Khan  yang mencetuskan gagasan komunalisme, yakni umat Islam perlu membentuk suatu kelompok yang berdiri sendiri.  Ide ini muncul berdasarkan pengamatannya bahwa di India ada tiga kekuatan sosial, yaitu  umat islam sebagai minoritas, hindu sebagai mayoritas, dan Inggris mempunyai kekuasaan politik dan  ilmu pengetahuan. Umat islam dan umat hindu mewakili dua budaya dan cara hidup yang berbeda.  Perbedaan ini terdapat di seluruh aspek kehidupan seperti : makanan, pakaian, literature, dan pola pikir.  Umat Islam berhasil mempertahankan budaya mereka yang berbeda dan berhasil memelihara masyarakatnya secara utuh. Umat islam tidak mau menjadi masyarakat minoritas di negara India yang mayoritas orang Hindu. Oleh sebab itu, golongan Islam melalui organisasi-nya  Liga Muslimin dibawah kepemimpinan Muhammad Ali Jinnah, menuntut pemisahan diri dari India dan membentuk negara Islam yang berdiri sendiri.[3]

Secara umum, Pakistan memiliki penduduk yang banyak diwilayah perdesaan dengan pertumbuhan yang tinggi. Pemerintah Pakistan memperkirakan penduduk Pakistan per-Desember 2004 sebanyak 152.800.000 jiwa, belum termasuk pengungsi dari Afganistan yang ada di Pakistan sebanyak 1,2 juta jiwa. Menurut sensus 1998, 67,5 persen penduduk tinggal di daerah perdesaan. Hanya wilayah Sindh memilik populasi perdesaan dan perkotaan yang kurang lebih sama(51,2 persen dan 48,8 persen). Negara ini memilik 7 kota besar, yaitu : Karachi (9,3 juta jiwa), Lahore (5,5 juta jiwa), Faisalabad (2,2 juta jiwa), Rawalpindi (1,4 juta jiwa), Multan (1,9 juta jiwa), Heyderabat(1,1 juta jiwa) dan Gujranwala (1,1 juta jiwa). Secara demografis , terdapat ragam etnis di Pakistan yaitu Punjabi sebanyak 44,68 persen,  Pashtun atau Pathan sebanyak 15,42 persen, Sudhi sebanyak 14,1 persen, Sariaki sebanyak 8,38 persen, Muhajirs sebanyak 7,57 persen, Balochi  sebanyak 3,57 persen dan lainnya sekitar 6,28 persen dari total penduduk. Sensus tahun 2010 menunjukan bahwa muslim merupakan penduduk terbanyak di Pakistan yaitu : 96,4 persen (sunni sekitar 85-90 persen dan Syiah sekitar 10-15 persen). Agama lainya seperti : Christian dan Hindu hanya sekitar 3,6 persen  dari total penduduk.[4]

Pembentukan Hukum di Pakistan

Satu hal yang unik dan mungkin sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya, bahwa negara Pakistan didirikan oleh beberapa tokoh-tokoh pendirinya, bukan (hanya) didasarkan pada persoalan kesamaan letak geografis atau bangsa sebagaimana yag banyak terjadi pada negara-negara lain, tapi Pakistan, lebih cenderung didirikan atas dasar kesamaan agama mereka, yaitu Islam. Oleh karena itulah, tidak heran jika kemudian negara yang mengambil bentuk republik ini disebut sebagai Negara Republik Islam Pakistan.[5]

Semula Pakistan adalah bagian dari India dan berdirinya Negara Pakistan merupakan jawaban atas tuntutan orang-orang Islam yang berada di India yang ketika itu berada di bawah penjajahan Inggris. Kemerdekaan Negara baru Islam bernama Pakistan itu tidak dengan sendirinya memutuskan diri dari hukum yang berlaku pada zaman penjajahan Inggris, karena semua hukum yang berlaku di India pada zaman penjajahan Inggris berlaku di Pakistan dan tetap berlaku pada zaman kemerdekaan sampai ada hukum baru yang memperbaharui atau menggantikannya. Sejak sebelum merdeka, semasa masih berada di bawah jajahan Inggris, orang-orang islam di India itu telah memiliki sebuah UU tentang hukum keluarga yaitu UU Penerapan Hukum Status Pribadi Muslim (Muslim Personal Law Application Act) tahun 1937. Kecuali soal-soal yang terkait tanah dan pertanian yang diatur secara hukum adat, UU tahun 1937 itu mengatur mengenai persoalan-persoalan keluarga dan waris. UU kedua yang mengatur hukum keluarga bagi orang-orang Islam di India ialah UU Perceraian Orang-orang Islam (Dissolution of Muslim Marriages Act) tahun 1939, yang juga memberikan kedudukan hukum lebih baik kepada perempuan dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan-alasan yang dibenarkan. 

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam mazhab Hanâfiah yang dianut oleh kebanyakan orang-orang Islam di India, inisiatif perceraian tidak boleh diambil oleh pihak isteri. Perlu juga dicatat bahwa untuk menyiasati pendapat mazhab Hanâfi yang demikian itu maka dahulu sering terjadi seorang perempuan muslimah menyatakan keluar dari agama Islam dengan maksud hanya untuk memperoleh fasakh (bubarnya perkawinan otomatis karena terjadinya perbedaan agama), meskipun setelah itu ia menyatakan kembali masuk Islam. Selain UU tahun 1937 dan 1939 itu terdapat satu UU lagi yang berkait dengan hukum keluarga Islam di Pakistan yaitu UU tentang Child Marriage Restraint Act (UU Larangan Perkawinan Anak di Bawah Umur) tahun 1929. 

Pada waktu itu terdapat tradisi kuat baik di kalangan orang Islam maupun Hindu untuk mengawinkan anakanak mereka yang masih di bawah umur. Praktik ini kemudian dilarang yang tentu saja dampaknya kemudian diaturnya batas minimum umur perkawinan, termasuk dalam MFLO tahun 1961.Pakistan memiliki UUD yang pertama, setelah tiga buah rancangan UUD sebelumnya ditolak pada tahun 1949, 1950, dan 1952. Semangat dari UUD 1956 itu ialah bahwa semua hukum warisan zaman penjajahan Inggris yang masih berlaku akan diganti dengan hukum baru yang berdasarkan atau berorientasi kepada hukum Islam. Praktis UUD 1956 itu hanya dipersiapkan dalam dua tahun yaitu tahun 1953 dan 1954. Penyiapan UUD pertama Pakistan itu memakan waktu demikian lama, karena adanya perdebatan di kalangan elit Pakistan disekitar persoalan, apakah Pakistan itu akan menjadi negara sekuler bagi orang-orang Islam di Pakistan ataukah menjadi negara Islam. Sebagian kelompok non-muslim Pakistan beralasan bahwa Mohammad Ali Jinnah sendiri, sebagai pendiri Pakistan yang meninggal dunia pada tanggal 11 September 1948, berpendapat yang pertama. 

Dalam UUD 1956 itu pilihan telah diambil, Pakistan adalah Negara Islam berbentuk republik dan presidennya harus orang yang beragama Islam. UUD tahun 1956 itu ternyata tidak berlaku lama, karena pada tanggal 7 Oktober 1956 dinyatakan tidak berlaku, setelah terjadinya coup d’etat (kudeta) di bawah pimpinan Jendral Ayub Khan yang sekaligus menjadi penguasa darurat militer (martial law) sampai diberlakukannya UUD kedua yang diberlakukan pada tanggal 1 Maret 1962. 

Dengan demikian ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961, sesungguhnya Pakistan sedang berada pada masa transisi antara UUD pertama dan kedua. Pada tingkat negara bagian, parlemen Punjab adalah negara bagian yang pertama menyusun rancangan peraturan pembaruan tentang perkawinan. Secara nasional, langkah pertama ke arah pembaruan hukum keluarga itu dilakukan dengan pembentukan suatu komisi yang disebut Komisi Hukum Perkawinan dan Keluarga (Marriage and Family Law Commission) pada tahun 1955 yang diketuai oleh seorang hakim bernama Badur Rashid den gan keanggotaan tujuh orang, termasuk tiga orang tokoh perempuan dan seorang filosof, Khalifa Abdul Hakim. 

Pada bulan Juni 1956, Komisi tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyampaikan laporan untuk dijadikan bahan penyusunan UU Hukum Keluarga. Seorang anggota komisi dari kelompok ulama konservatif, Maulana Ihteshamul Haq, membuat pernyataan dissenting opinion karena isi laposran komisi itu dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam atau sekurang-kurangnya negara telah melakukan intervensi yang tidak perlu terhadap hukum Islam. Memang sedikit aneh, karena terhadap Mesir yang melakukan pembaruan hukum keluarga pada tahun 1929, ulama konservatif Pakistan Maulana Maududi mendukungnya, tetapi ketika pembaharuan serupa hendak diberlakukan di Pakistan, ia menentangnya. Ketika MFLO diberlakukan pada tahun 1961 ternyata tidak semua rekomendasi Komisi tersebut ditampung di dalamnya, sehingga membuat orang berkesimpulan bahwa MFLO 1961 adalah hasil kompromi antara kelompok-kelompok muslim modernis dan konservatif di Pakistan.[6]

Landasan Penerapan Madzhab Hukum Negara

Perkembangan hukum Islam di Pakistan sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, khususnya dalam lingkup hukum keluarga. Penerapan hukum keluarga terbilang yang paling tegas dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya. Hal ini terlihat dengan keberadaan sanksi-sanksi dalam perkara-perkara hukum keluarga.[7] Seperti :

1.      Perkawinan yang tidak dicatatkan :

Akad perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, maka akan diancam hukuman penjara paling lama 3 bulan dan berupa denda sebanyak 1000 Rupees. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961.[8]  Pasal 5 Ordonansi Pakistan itu menyatakan bahwa  : apabila suatu perkawinan tidak dilakukan oleh Pejabat Pencatat Nikah maka orang yang memimpin pelaksanaan ijab kabul itu harus melaporkannya kepada Pejabat Pencatat Nikah dan kelalaian mengenai hal ini merupakan pelanggaran. Para perancang ordonansi itu mendasarkan pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang saja hendaknya dicatatkan. Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi yang penting, lebih penting dari hutang piutang. Para ulama Pakistan menerima kewajiban pencatatan itu dengan syarat tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan dari segi agama.[9]

2.      Pernikahan dibawah umur

Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee atau keduanya sekaligus. Atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan, memerintahkan, atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur .Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas atau berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan, atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan, atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan terkait pernikahan di bawah umur, sementara ia tahu keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.[10].

3.      Poligami

Kemudian, Seseorang yang berpoligami tanpa memenuhi ketentuan yang berlaku dapat dipidana penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 5000 rupee.[11] Secara historis, jauh sebelum pemisahan India dan Pakistan pada tahun 1947, poligami sudah menjadi budaya dan tradisi umum yang banyak dipraktikkan oleh umat Islam disana. Di Pakistan masalah poligami diatur dalam Peraturan (Ordonansi) tentang Hukum Keluarga Pakistan tahun 1961. Peraturan poligami yang tercantum dalam pasal 6 tersebut menyatakan bahwa :

a. Selama masih terikat perkawinan, tidak seorang lelaki-pun yang boleh melakukan perkawinan dengan orang lain kecuali ia telah mendapatkan  izin tertulis dari Dewan Arbitrasi.

b. Permohonan izin akan diserahkan kepada ketua dengan cara yang ditentukan sekaligus dengan biaya yang ditetapkan dan melampirkan alasan-alasan untuk mengajukan perkawinan dengan menerangkan apakah izin tertulis dari isteri atau isteri-isterinya sudah diperoleh.

c. Dalam hal penerimaan permohonan, ketua akan meminta kepada pemohon dan isteri atau isteri-isterinya yang sah untuk mengajukan wakil masing-masing dan Dewan Arbitrase akan memberikan izin poligami apabila dewan memandang perkawinan tersebut “perlu dan adil” sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan kesehatan.

d. Dalam memutuskan permohonan tersebut, Dewan Arbitrasi mencatat alasan-alasan terhadap putusan tersebut dan pihak pemohon boleh melebihkan surat permohonan untuk revisi surat keterangan tersebut dan menyerahkannya kepada kolektor dan putusannya akan berlaku serta tidak akan dipertanyakan lagi di pengadilan.

Dalam pasal ini, poligami dapat dilakukan dengan syarat bahwa diperlukan izin tertulis dari Dewan Arbitrasi (Hakim) sebelum seseorang dapat menikahi isteri kedua. Izin tersebut hanya dapat diberikan bila Dewan Arbitrasi itu yakin bahwa perkawinan yang diajukan itu memang diperlukan dan benar. Dalam hal ini diperlukan adanya persetujuan dari isteri terdahulu kecuali kalau dia sakit ingatan, cacat jasmani, atau mandul. Hal ini menegaskan bahwa apapun yang terjadi izin dari Dewan Hakim harus didapatkan sebelum melangsungkan perkawinan kedua. Perkawinan yang dilakukan tanpa izin tertulis lembaga tersebut akan mengakibatkan perkawinan itu tidak terdaftar menurut Undang-Undang. Bahkan lebih jauh, terhadap pelaku poligami tanpa izin lembaga arbitrase (arbitration council), dapat dijatuhi hukuman:

a.  Wajib membayar segera seluruh jumlah mas kawin, baik kontan maupun bertempo (cicilan), kepada istri/para istrinya yang ada, jika jumlah itu tidak dibayar, maka ia dapat ditukar-alih sebagai tunggak-kan pajak tanah.

b.  Atas dasar keyakinan terhadap pengaduan (dari pihak istri mengenai pelunasan mahar) maka pelaku poligami dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 1 tahun, atau dengan denda maksimal 5 ribu rupee, atau dengan keduanya sekaligus.[12]

Kasus seperti poligami memang sebelumnya banyak disalahgunakan oleh mereka, dalam hal ini para tuan tanah di desa yang menikahkan anaknya di waktu kecil guna menjaga harta kekayaannya. Kemudian, setelah si anak sudah besar, dia menikah lagi dengan perempuan yang ia sukai tanpa memperhatikan nasib istri pertamanya. Keluhan inilah yang menjadikan adanya pembatasan dalam poligami dengan mengadakan dewan arbitrasi yang berfungsi menyelidiki alasan-alasan sang suami, apakah poligami itu memang diperlukan dan pantas bagi si suami.

4.      Perceraian

Perceraian dalam masyarakat Pakistan sejak dulu dikenal sebagai sesuatu yang sakral dan terlarang. Hal ini berakar dari ajaran madzhab hanafi yang begitu protect terhadap pernikahan dan hanya memberikan hak ini kepada suami. Adanya regulasi yang memberikan hak mengajukan cerai kepada istri ternyata juga tidak menuai respon yang antusias bagi beberapa golongan. Diantaranya adalah masyarakat pedalaman yang menganggap perceraian sebagai sesuatu yang rendah. Menurut sebagian masyarakat Pakistan perceraian adalah perbuatan tidak terhormat, sehingga pelakunya juga diberikan gelar khusus sepert zhan thalaq (laki-laki yang telah bercerai). Panggilan yang demikian menunjukkan adanya status sosial yang rendah di masyarakat sehingga mereka enggan melakukan perceraian meskipun sangat terdesak. Disamping itu mayoritas wanita di tahun awal Undang-undang ini dibuat (1970) tidak memiliki penghasilan sendiri, sehingga dalam mencukupi kebutuhannya mereka sangat bergantung pada penghasilan suami. Adapun faktor terakhir rendahnya perceraian ketika itu adalah pengembalian khulu’ yang nominalnya dianggap besar oleh sebagian masyarakat yang hendak mengajukan cerai. Namun, kondisi yang demikian secara bertahap berubah seiring dengan berkembangnya zaman. Sebagaimana diberitakan di media masa, angka perceraian di Pakistan mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Di Islamabad tercatat ada 557 kasus perceraian yang masuk di dewan pengadilan Islam. Angka ini berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya seperti tahun 2002 yang tercatat ada 208 kasus perceraian yang masuk dan 80 kasus perceraian di tahun 1998. Kondisi serupa juga terjadi di beberapa kota seperti Karwachi dan Pashtun, meskipun di Pashtun masyarakatnya masih sangat konservativ dan menganggap perceraian merupakan aib keluarga. Menurut Shabina Ayaz, direktur sebuah yayasan perempuan di Pashtun, perceraian banyak terjadi atas gugatan istrinya. Beberapa penyebabnya antara lain karena sang istri telah memiliki penghasilan sendiri, adanya kekerasan dalam rumah tangga dan juga suami terbukti melakukan pernikahan lagi. Namun ada tantangan lain yang harus diterima oleh wanita yang meminta cerai di daerah ini, yakni ditelantarkan keluarga karena dipandang sebagai aib hingga ancaman kekerasan berupa pembunuhan. Kejadian ini pernah terjadi pada Ghazala Haved, seorang penyanyi yang menikah pada tahun 2010 dan meninggal pada 2012 karena ditembak oleh suami saat meminta cerai.[13]

5.      Prosedur Perceraian

Ordonansi 1961 mewajibkan suami segera setelah menjatuhkan talak menulis pemberitahuan mengenai terjadinya talak, kemudian diserahkan kepada ketua Arbitrasi serta menyerahkan satu copy kepada isteri. Jika tidak ia akan dikenai hukuman-hukuman yang ditentukan dalam ordonansi tersebut. Ketua dewan arbitrasi wajib mulai berusaha mendamaikan kedua suami isteri dalam tempo 90 hari atau 3 bulan, di mana talak baru jatuh setelah lewatnya masa 90 hari itu dari gagalnya usaha-usaha perdamaian.Secara jelas hal ini termaktub dalam pasal 7 Muslim Family Law Ordinance 1961 yang berbunyi:

1)  Seseorang yang hendak menceraikan isterinya, sesegera mungkin setelah pengucapan talak dalam bentuk apapun, memberikan laporan tertulis kepada Ketua dan memberi salinannya kepada isterinya.

2)  Siapapun yang melanggar ketentuan (1) ini akan dihukum penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 5.000 rupee atau dengan keduanya.

3)  Kecuali seperti yang terdapat dalam ayat (5) kecuali jika dicabut dengan cepat, akan tidak berlaku sampai akhir hari ke-90 sejak dikirimnya laporan tertulis  kepada Ketua.

4) Dalam waktu 30 hari setelah menerima catatan (1) Ketua akan menentukan sebuah Dewan yang bertujuan untuk mengupayakan perdamaian antara kedua belah pihak (suami-isteri), dan dewan ini akan mengambil langkah-langkah penting bagi terwujudnya perdamaian tersebut.

5)  Jika isteri hamil pada saat talak dijatuhkan, talak tidak berlaku sampai batas waktu yang disebutkan pada ayat (3) atau sesudah melahirkan.

Di Pakistan, ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur perceraian merupakan salah satu langkah pembaharuan yang cukup signifikan dalam mengangkat posisi dan derajat kaum perempuan dan sebagai upaya progresif dalam menghapus ketidakadilan gender akibat perceraian. Sebab menurut analisa Anderson misalnya, mengatakan bahwa perceraian ternyata tidak diragukan lagi merupakan penyebab paling utama timbulnya penderitaan para wanita muslimah selain poligami.Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam Ordinasi 1961 tersebut adalah bahwa talak baru berlaku (jatuh) setelah 90 hari surat pemberitahuan talak tersebut diterima oleh Dewan Arbitrasi, setelah upaya damai tidak berhasil (pasal 7 ayat 3). Hal ini memberikan indikasi bagaimana Ordinasi ini sesungguhnya sangat mempersulit terjadinya perceraian. [14]



[1]Nur Taufiq Sanusi, Perceraian dalam Perundang-Undangan Negara Muslim(Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam Pakistan, Mesir dan Indonesia),Jurnal Al-Qadau :Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Volume 4 Nomor 2 Desember 2017,Hlm 328  -329.

[2] Rohmadi,Syariat dan Politik Hukum Keluarga di Negara Pakistan,Jurnail Ilmiah Mizani,Volume 1, Nomor 2(2014)

[3] Aisyah.Nasinalisme dan Pembentukan Negara Islam di Pakistan. Sulesana.Volume 7, Nomor 2 Tahun 2012.

[4] Ahmad Tholabi Kharlie, Asep Syarifudin Hidayat, dan Muhammad Hafiz, Kodifikasi Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Pembaharuan, Pendekatan dan Elastisitas Penerapan Hukum,(Jakarta :Kencana,2020).Hlm,77

[5]Nur Taufiq Sanusi, Op.Cip,. Volume 4 Nomor 2 Desember 2017,Hlm 328 

[6] M. Atho Mudzhar,Hukum Keluarga di Pakistan : Antara Islamisadi dan Tekanan Adat, Al-‘Adalah Vol. XII, No. 1 Juni 2014

[7] Sabarudin Ahmad, Menelisik Ketegasan Hukum Keluarga Di Pakistan, al-Maslahah: -Volume 15 Nomor 1 Juni 2019

[8]Lilis Hidayati Yuli Astutik ,dan Muhammad Ngizzul Muttaqin. Positifikasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim melalui Pembaharuan Hukum Keluarga . Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 20, No. 01, Juli 2020, 55-65

[9] Sabarudin Ahmad,Transformasi Hukum Pembuktian Perkawinan Dalam Islam,(Jawa Timur : Air Langga University Press,2020)Hlm.6

[10]Suhamdi, Heterogeneus Perundang-Undangan Hukum Perkawinan Negara-Negara Muslim Modern, Kodifikasia, Volume 7 No. 1 Tahun 2013,Hlm. 34.

[11] Sabarudin Ahmad, Op.Cit.,Volume 15 Nomor 1 Juni 2019

[12]Suhamdi,Op.Cit,..Volume 7 No. 1 Tahun 2013,Hlm.35.

[13]Syaifuddin Zuhdi, Reformulasi Hukum, Perceraian di Pakistan, Jurnal Law and Justice Vol. 1 No. 1 Oktober 2016Hlm.49-50

[14] Nur Taufiq Sanusi,Op.Cit,..Volume 4 Nomor 2 Desember 2017,Hlm 328  -329.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsultasi Hukum

Konsultasi adalah sebuah dialog di dalamnya ada aktivitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkons...