Sabtu, 25 Februari 2023

Khilafah pada Masa Khulafaurrasyidin

Konsep pertama mengenai kepemimpinan Islam adalah khilafah. Secara harfiah, khilafah berarti penggantian atau suksesi. Maksudnya adalah penggantian kepemimpinan selepas Nabi Muhammad Saw., bukan dalam kedudukannya sebagai Nabi namun sebagai pemimpin umat. Orang yang memegang jabatan khilafah disebut dengan khalifah. Namun demikian, kata khalifah kemudian lebih populer diartikan sebagai kepala negara dalam Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.[1] Masalah Khilafah, terdapat tiga teori utama yaitu pendapat yang  menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini wajib hukumnya berdasarkan syari'ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh sunni antara lain Teolog  Abu Hasan Al-Asy'ari berpendapat bahwa khilafah ini wajib karena wahyu dan ijma' para sahabat. Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh Al- Mawardi mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardhu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma' atau consensus. Al- Ghazali mengatakan bahwa khilafah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma'. Teori terakhir adalah pendapat kaum Mu'tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal.[2]

 

Al Mawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyah wa al Wilayat al Diniyyah mengatakan bahwa khilafah dapat disinonimkan dengan al-Imamah, yaitu sistem perwakilan atau pergantian atas kenabian dalam upaya memelihara agama dan mengatur dunia. Tiga pengertian diatas memberikan dampak dua makna yang lebih spesifik. Pertama, khalifah atau imam adalah wakil atau pengganti Nabi SAW yang berarti pula ia berhak mewarisi otoritas dan keistimewaan yang pernah didapatkan oleh nabi di mata umat islam. Kedua, khalifah atau imam secara konseptual mewarisi otoritas agama sekaligus otoritas pemerintahan yang juga pernah dimiliki oleh Nabi SAW. Konsep khilafah sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan konsep kenegaraan Islam ideal yang hanya  terbukti pada masa al khulafa' al Rasyidin. 


Al khulafa' al Rasyidin oleh kalangan umat Islam dinilai mewakili praktek dan pelaksanaan konsep khilafah yang ideal, karena selain mereka mendapat kepercayaan mayoritas umat Islam waktu itu, mereka juga memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsinya sebagai negarawan sekaligus agamawan. Sekalipun tidak sama dengan kualitas yang ada pada diri Nabi sendiri, apa yang dilakukan al khulafa al rasyidin paling tidak sudah memenuhi kriteria bagi terlaksananya khilafah yang ideal.[3]

 

Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil, bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat petunjuk dari Allah. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas  kerosulan  tidak dapat digantikan oleh Khulafaur  Rasyidin karena  Rasulullah  adalah Nabi dan Rosul yang terakhir. Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.


 

Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan  yang  damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur Rasyidin bertugas mengatur hal-hal  yang  berhubungan dengan masalah keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka khalifah yang berhak mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga setiap kebijakan yang  diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin. Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah ini, yaitu: pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi. Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya.[4]

 

.Ketika Nabi SAW wafat, nabi tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam  setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri  untuk  menentukannya.  Karena  itulah, tidak lama setelah beliau wafat dan jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshar berkumpul dibalai kota bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin umat islam. Musyawarah terjadi cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat islam. Namun dengan semangat  ukhuwah  islamiyah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi SAW. Rupanya semangat keagamaan Abu Bakar yang tinggi mendapat penghargaan yang tinggi dari umat islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya. Dalam kepemimpinannya, Abu Bakar melaksanakan kekuasaannya sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat di tangan Khalifah. Meskipun demikian, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.


Pada masa Umar bin Khattab, kondisi politik  dalam  keadaan  stabil, usaha perluasan wilayah islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah islam pada masa Umar bin Khattab meliputi Semenanjung Arabiah, Palestina, Syiria, Irak, Persia dan Mesir.Kemudian pada masa pergantian khalifah selanjutnya, melalui persaingan ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Ustman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman al-Khulafa' arRasyidin yaitu 12 tahun. Prestasi yang terpenting bagi Khalifah Ustman adalah menulis kembali al-Quran yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti Umar. Terdapat beberapa manfaat dari dikodifikasikannya al-Qur`an pada masa Ustman diantaranya:

1.  Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang  seragam ejaan tulisannya.

2.   Menyatukan bacaan, kendatipun masih ada perbedaannya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Ustmani.

3.  Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang ini.


Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan yang tinggi. Yang terpenting  diantaranya  adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan roda pemerintahan pada saat itu, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar sebagai Khalifah. Situasi  politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan timbulnya peristiwa pembunuhan Utsman yang mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Thalhah bin 'Ubaidillah memaksa beliau sehingga akhirnya Ali menerima baiat mereka. Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di baiat  secara massal. Karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda- beda.


Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai guncangan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Persoalan pertama yang dihadapi Ali adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah ditumpahkan secara zalim. Bersamaan dengan itu, kebijakan- kebijakan Ali  juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus. Muawiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Peristiwa yang terkenal dalam masa Ali adalah terjadinya perang antara kubu Ali dan kubu Muawiyah. Perang tersebut terjadi di daerah bernama Siffin, sehingga perang ini disebut sebagai perang Siffin.[5]




[1] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57

[2] Sutisna, Pemilihan Kepala Negara Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia,(Yogyakarta:Deepublish,2014).Hlm.7

[3] Ahmad Muthohar, Evolusi Khilafah ( Masa al Khulafa al Rasyidin Sampai Dinasti ‘Abbasiyah),IAIN Samarinda.

[4] Machfud Syaefuddin, Perdaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013. hlm 29.

[5] Ely Zainudin ,Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin, Jurnal Intelegensia Vol. 03 No. 01 Januari-Juni 2015

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsultasi Hukum

Konsultasi adalah sebuah dialog di dalamnya ada aktivitas berbagi dan bertukar informasi dalam rangka untuk memastikan pihak yang berkons...